Kupu-kupu di Etalase
Di emperan
Ruko, di sebuah pasar kecil, dengan baju putih yang kecokelatan karena noda
bercampur keringat, bocah yang baru beberapa bulan saja tamat sekolah dasar itu
berdiri lama di hilir mudik orang. Menatap sebuah etalase yang sedang di lap pemiliknya,
seorang perempuan muda warga keturunan asing. Sedikit langkah kecil Jaenudin
mendekati etalase, mengamati isinya, sebuah kupu-kupu dari tembaga yang
memantulkan sinar kemilau ketika diterpa cahaya. Pantulan cahaya inilah yang
menarik hati Jaenudin sejak berhari-hari yang lalu. Bagi Jaenudin, kupu-kupu
itu hidup liar terbang masuk dalam benaknya, keluar dari etalase dan terpatri
dalam mimpinya, mimpi untuk perempuan tua, ibunya.
“Ada apa, Dek?”
tanya perempuan muda. Jaenudin tergagap, pertanyaan sesederhana itu tak mampu
ia jawab, lamunannya memaksa keluar dari otak, membentur kornea mata Jaenudin
yang kemudian menatap perempuan itu. Tak membalas senyum perempuan warga
keturunan tersebut, dengan mencuri-curi lihat kupu-kupu tembaga, Jaenudin
berlari. Menubruk lelaki di sebelahnya, “Hei, kalau jalan lihat-lihat
dong!”, namun Jaenudin tak menghiraukan, ia terus berlari, menjauh.
Begitulah yang
diceritakan Jaenudin padaku. Seperti saat sekarang setelah bertahun lewat,
Jaenudin memaksaku untuk tetap berdiri mendampinginya sekedar menatap kupu-kupu
tembaga itu. Masih dibalik etalase.
Bertahun-tahun
telah banyak berubah. Dulu Jaenudin kecil, tubuhnya yang kurus dipaksa untuk
menanggung berat hidup, mengumpulkan setiap rupiah dari sekarung beras demi
sepiring harapan ibunya agar kelak Jaenudin menjadi lelaki mapan. Tak
berpendidikan rendah seperti ibunya yang Sekolah Dasar pun tak tamat. Menjadi
lelaki kantoran dengan dasi dan koper. Atau paling tidak, ketika Jaenudin pergi,
ia menggunakan sepeda agar tak perlu lagi berkilo berjalan ke tempat seharusnya
Jaenudin pergi. Begitulah kiranya yang ibu Jaenudin harapkan.
Namun bagi
Jaenudin, itu hanyalah mimpi yang sangat kecil yang berani ia tentang. Jaenudin
punya mimpi sendiri dan entah datang keberanian dari mana untuk bertanya
menawar harga, uang yang ia kumpulkan dari dalam saku baju dibelikannya
kupu-kupu tembaga itu.
Dengan bersorak
gembira Jaenudin pulang. Dalam genggamannya, diperlihatkan kupu-kupu itu di
hadapan ibunya. Saat itu, harapan Jaenudin, ibunya terharu menerima apa yang ia
belikan dan menerimanya, sebuah kupu-kupu berkilau untuk menghiasi kerudung
yang kadang dikenakan ibunya untuk pergi ke pengajian. Namun, bukan haru atau
gembira yang ibu Jaenudin tunjukan, tapi sebuah kemarahan kepada anak semata
wayangnya itu yang membuat Jaenudin pergi lama seakan ingin membalas kemarahan
ibunya.
“Berapa lama
lagi kita akan berdiri di sini?” tanyaku.
Tidak ada jawab
dari Jaenudin. Mulutnya terkatup rapat, meski hendak meledakkan sesuatu.
Kuperhatikan
sorot matanya tajam menatap ke balik kaca etalase. Kupu-kupu itu beku, layaknya
gunung salju yang diam. Beberapa orang lalu lalang di hadapan kami, tetapi itu
tak menghalangi jarak kupu-kupu dengan Jaenudin. Sepertinya ia asyik bermain kata
dengan kupu-kupu. Entah apa yang Jaenudin tanya, dan entah apa tanya itu
mendapat jawab.
Dahulu, setelah
kemarahan ibunya, Jaenudin pergi hampir setahun. Membuat ibunya menyesali atas
tindakannya itu. Tarminah, nama dari perempuan tua tersebut, menangis tersedu
meratapi kepergian anaknya yang terlalu lama bagi kerinduan seorang ibu. Hari
demi hari, Minggu terlewati, tangis ibu Tarminah kian sunyi. Semula tangis itu
terdengar lirih menyentuh perasaanku, mengangkat iba dalam diriku untuk datang
menemuinya, mengisi kekosongan kehadiran anaknya. Namun kehadiranku pun
percuma, aku hanyalah seorang lelaki yang Ibu Tarminah kenal dan bukan anaknya.
Setelah bertahun-tahun,
tak lagi kudengar tangis memilukan itu. Namun bukannya reda, justru tangis itu
semakin menjadi. Bukan air mata lagi yang menjadi bukti akan ratapan ibu
Tarminah, tetapi keringnya tubuh karena rindu yang tak terobati. Tatapan mata
yang sendu tak berair karena air mata telah habis diperas tangis. Akibat
kerinduan yang dalam tersebut, membuat daya tahan tubuh perempuan tua itu
melemah. Ibu Tarminah terbaring sakit. Sejak saat itu aku mulai sering
mengunjungi Ibu Tarminah, membawakan makanan dan menyuapinya. Tak ada cerita
yang keluar dari mulutnya meski telah keras aku berusaha menarik ibu Tarminah
dari kesunyiannya.
Dalam diam
seorang ibu yang rindu anaknya, aku mengutuk Jaenudin. Serapahku
meloncat-loncat di kepala, dalam lamunanku. Kebencianku membumbung menangkap
sosok Jaenudin dan menghajarnya keras. Kutukikkan hujaman-hujaman tajam
mengenainya, membuat Jaenudin mengaduh nyeri. Aku berseringai puas pada
kemenanganku. Jaenudin terkapar tak berdaya bersimbah sejuta sesal yang
menggerogoti.
“Jae!”
Tiba-tiba saja
lamunanku terpental jauh, mengembalikan aku ke alam nyata, di mana tidak ada
Jaenudin, tidak ada yang terkapar karena hunusanku, hanya perempuan tua di
hadapanku yang merintih memanggil Jaenudin. Aku mendekat, membelai rambutnya,
menatap wajahnya.
“Ada apa, Bu?”
tanyaku.
Kugenggam
tangannya yang melemah. Matanya menatap langit-langit.
“Jaenudin.”
Bisik ibu Tarminah.
“Iya, Bu,
kenapa Jaenudin?”
Mata ibu
Tarminah kemudian terpejam. Tangannya menggenggamku erat.
“Jaenudin sudah
pulang?”
“Sebentar lagi
Jaenudin pulang, Bu.” Jawabku berat. “Kita tunggu sama-sama ya.” Tambahku lagi.
Tak ada lagi
suara yang keluar dari mulut ibu Tarminah, ia tertidur karena lelah, menanti
kehadiran anaknya kembali.
Perlahan hari
merangkak turun. Sore telah melemparkan matahari ke barat. Dan sepertinya
kupu-kupu itu telah merasuk ke dalam diri Jaenudin. Ia melangkah mendekati
etalase. Merasai kupu-kupu itu dari dekat. Perempuan warga keturunan itu
tersenyum-senyum melihat Jaenudin. Sepertinya ia masih mengingatnya. Sambil
menggendong seorang anak kecil, perempuan itu bertanya.
“Mau dibeli
lagi kupu-kupunya, Mas?”
Jaenudin diam
saja. Jadi kuambil saja pertanyaan itu.
“Oh, kami
sedang melihatnya saja, Mbak.” Kataku.
Perempuan itu
mengangguk-angguk, melihatku, “Kalau butuh sesuatu, panggil saja saya.”
Katanya.
“Iya. Terima
kasih, Mbak.”
Entah apa yang
menarik dari kupu-kupu tembaga itu sampai-sampai harus dipandangi lama
sedemikian rupa. Jaenudin kini bukan Jaenudin yang dulu. Sekarang ia punya
banyak uang, seperti yang diinginkan ibunya dahulu. Meskipun tak berdasi,
setidaknya ia memiliki lebih dari sekedar sepeda untuk pergi ke mana seharusnya
Jaenudin pergi. Kenapa harus memandanginya di balik etalase milik orang lain
kalau uang dalam sakunya mampu membeli lebih dari selusin kupu-kupu tembaga
serupa. Atau mungkin kupu-kupu yang terbuat dari emas. Rasa penasaranku tak
pernah mendapat penjelasan berarti dari Jaenudin. Setiap kali bertanya,
Jaenudin tak menjawabnya. Atau “Aku hanya merasa senang saja.” Begitulah
kira-kira jawaban Jaenudin yang jelas-jelas tak masuk akal menurutku.
Pernah satu
hari aku menyarankan agar ia membeli saja kupu-kupu itu agar tak perlu lagi
harus berdiri lama di emperan Ruko Pasar. Namun saranku itu hanya ditanggapi
dengan senyum, kemudian ia berlalu begitu saja. Sepanjang hidupku, baru sekali
ini aku mengenal manusia yang sedemikian aneh. Orang yang beruang namun tak mau
membeli apa yang menarik bagi dirinya.
Hari beranjak
ke malam. Kumandang azan magrib berkumandang. Perempuan warga keturunan itu
terlihat lagi, sambil tersenyum ia menutupkan Rukonya. Aku hanya mengangguk.
Kulihat reaksi Jaenudin, ia diam saja kemudian pergi.
Aku terbangun
dari tidurku ketika kudengar rintihan ibu Tarminah. Ia mengerang kesakitan. Aku
menjadi ketakutan.
“Kenapa, Bu?
Kita ke dokter saja ya?” pintaku.
“Tidak. Ibu
tidak mau tidak ada di rumah kalau Jaenudin pulang. Ibu takut kalau ibu tidak
ada di rumah ketika Jaenudin datang, dia akan mencari ibu. Kasihan dia. Mungkin
dia lapar, dia belum makan sejak dia pergi.”
“Ibu, Jaenudin
nanti datangnya kalau ibu sudah ke dokter.”
“Jaenudin
sebentar lagi pulang.”
“Ibu, apa ibu
mau kalau Jaenudin datang dia justru menjadi sedih melihat ibu seperti ini?”
“Seperti ini
apa maksudmu?” tanya bu Tarminah.
“Ya seperti
ini. Ibu sakit-sakitan. Melihat ibu sakit sudah pasti Jae akan merasa sedih.
Apa ibu mau Jae sedih?”
“Ibu mau Jae bahagia. Tidak ada seorang ibu pun
yang menginginkan anaknya sendiri bersedih.” Jelas bu Tarminah dalam lemahnya.
“Kalau begitu
kita pergi ke dokter ya, Bu? Supaya ibu sehat ketika memeluk kedatangan
Jaenudin.”
“Sekarang juga
ibu sehat. Kata siapa ibu sakit?” ujar ibu Tarminah sambil berusaha bangkit
dari tidurnya. Namun tubuhnya yang lemah tak dapat mengikuti kehendak bu
Tarminah. Bu Tarminah terhempas kembali ke pembaringan tak berdaya.
“Apa kataku
juga, Bu. Ibu itu sedang sakit, jadi harus diobati.”
“Apa betul ibu
sakit?”
“Iya, ibu
sedang lemah kondisi tubuhnya. Tapi nanti akan sembuh kalau sudah periksa ke
dokter dan minum obat.”
“Tapi ibu tidak
merasa sakit.”
“Nyatanya ibu
tak mampu bangkit dari tidur sekarang. Apa ibu masih mau menyangkal
kenyataannya? Sudahlah, Bu, kita ke dokter saja, periksa. Biar biaya saya yang
tanggung.”
“Tapi benar
Jaenudin akan datang setelah ibu ke dokter?”
“Jaenudin pasti
datang lagi, Bu. Kalau pun tidak, mungkin dia sedang banyak urusan.”
Aku berhasil
membujuk bu Tarminah untuk periksa. Kupangku tubuhnya yang kekuningan. Tubuhnya
yang kurus tak begitu sulit untuk ku angkat.
Entah yang ke
berapa ratus kalinya atau mungkin ribu kali aku menemani Jaenudin melihat
kupu-kupu itu. Yang kurasakan aku sudah sangat bosan. Meskipun kupu-kupu itu
sudah dibeli dengan harga mahal, tapi Jaenudin enggan membawanya. Ia
menitipkannya kepada pemilik Ruko untuk tetap menyimpannya di tempat semula, di
dalam etalase. Tentu saja lengkap dengan biaya penginapan bulanan atas jasa
kontrak lapak penyimpanan kupu-kupunya itu.
Memang akhirnya
Jaenudin membeli kupu-kupu itu, karena saranku, tapi lebih tepatnya mungkin
dikatakan karena terpaksa yang kemudian memaksa. Dahulu sempat ada seseorang
yang hendak membeli kupu-kupu itu. Namun ketika terjadi tawar menawar harga
antara lelaki dengan pemilik Ruko itu diketahui oleh Jaenudin. Naik pitamlah
Jaenudin karena kupu-kupu itu akan pergi dari hadapannya, dari balik kaca
etalase. Jaenudin menghampiri transaksi tersebut. Seperti biasanya aku
mengikuti Jaenudin.
“Empat puluh
saja bagaimana?” tawar lelaki itu.
“Lima puluh,
Mas.” Kata perempuan keturunan itu.
“Lima puluh?”
tanya Jaenudin.
Perempuan
pemilik Ruko itu tersenyum. Kemudian bicara. “Bagaimana, Mas?” tanyanya pada
lelaki itu.
Lelaki itu
seakan tak terima akan perlakuan Jaenudin, kemudian ia terima harga lima puluh
itu. Tapi Jaenudin tak mau kalah, ia tak ingin kupu-kupu itu pergi dari
etalase. Maka Jaenudin menawar harga lebih tinggi. Terjadilah lelang dadakan
yang akhirnya dimenangkan oleh Jaenudin. Ia membeli kupu-kupu perunggu itu
hampir sepuluh kali lipat dari harga sebenarnya. Lelaki lawan lelang Jaenudin
dengan kesalnya pergi dengan tatapan sinis terhadap Jaenudin.
Ketika
kupu-kupu tembaga itu akan diserahkan kepada Jaenudin, Jaenudin tidak
menerimanya.
“Mbak, saya
simpan saja di sini, tepat di sini,” kata Jaenudin sambil menunjuk tempat
kupu-kupu itu semula di simpan. Perempuan itu keheranan. “Saya akan bayar
setiap bulannya untuk sewa tempat barang saya ini.” Lanjut Jaenudin. Perempuan
itu seperti bertambah heran saja. Terjadilah tawar menawar lagi, entah apa yang
mereka bicarakan, aku mendengarnya tapi aku tidak mengerti, aku terlalu khusyuk
pada pikiranku, “Apa sebenarnya yang diinginkan lelaki ini?” batinku.
Hari-hari pun
berlalu. Kupu-kupu tembaga itu masih di etalase. Setiap kali aku menemani
Jaenudin melihat kupu-kupu itu, perempuan pemilik toko hanya tersenyum tak
banyak bertanya kemudian berlalu. Dan anehnya, setiap kali Jaenudin melihat
kupu-kupu miliknya itu, ia seakan baru saja melihatnya. Lagi-lagi aku tak
pernah habis pikir dengan apa yang diinginkan Jaenudin.
Untuk ke sekian
kalinya aku bertanya akan maksud dari Jaenudin tersebut, lagi-lagi ia
menghindar. Tapi kesabaranku telah surut. Aku memaksanya bercerita. Namun
jawabannya, “Sebenarnya kamu sudah tahu.”
“Aku tahu apa?”
tanyaku.
Jaenudin
menatapku lekat, penuh penyesalan dalam dirinya.
“Kalau kau
masih tidak tahu, berarti kau bukan sahabatku.”
Aku kaget.
Jujur saja aku tidak tahu apa yang ada dalam pikirannya. Apa maksud dari
kupu-kupu tembaga itu. Kenapa ia menyimpannya tetap di etalase Ruko padahal ia
telah membelinya? Apakah mungkin aku yang telah mengenalnya lama dan
menemaninya beratus bahkan mungkin beribu kali untuk melihat kupu-kupu tembaga
itu bukan sahabatnya? Aku semakin bingung atas jawaban yang ia berikan. Ah..
kenapa jawabmu harus menuai tanya yang lebih besar bagiku?
Aku memaki
diriku sendiri. Serapahku tidak untuk siapa pun, tapi untukku.
Setelah
kepergian Jaenudin yang begitu lama, akhirnya aku bertemu kembali dengannya di
pemakaman ibu Tarminah. Sakit yang
diderita ibu Tarminah disebabkan karena ia tidak makan berhari-hari yang
menyebabkan maagnya kambuh, dan hal itu dibiarkannya karena sakit yang ia
derita terkalahkan kerinduan yang membuncah pada Jaenudin. Karena tak dirasai,
maag itu menjalar menjadi sakit lever, parah,
begitulah singkatnya apa yang dikatakan dokter kepadaku ketika aku mengantar
ibu Tarminah.
Entah
Jaenudin tahu dari mana ibunya tiada,
yang aku tahu, ia ada pada pemakaman ibunya. Mungkin ia sangat sedih, tapi
kesedihan itu percuma. Ibunya telah pergi membawa rindu yang tak terobati. Ketika satu-satu pelawat itu telah pergi,
tinggallah kami berdua di pemakaman. Aku melihat Jaenudin bersimpuh pada tanah
yang belum juga kering. Aku lihat linangan air matanya, tapi tak ada sepatah
kata yang keluar dari bibirnya yang bergetar. Lalu kuhampiri ia dengan marah
yang sengaja kusimpan sejak lama.
“Tak pantas kau
bersimpuh pada perempuan dalam kubur itu.” Kataku.
Jaenudin
membatu.
“Kau tidak tahu
bagaimana dia sakit. Bagaimana menderitanya dia menunggumu, anak semata
wayangnya yang tak kunjung tampak dalam akhir hidupnya. Kau telah
membuang-buang kasih sayang seorang ibu. kau durhaka, melukai ibumu sendiri
sedemikian rupa.”
Suasana serasa
menjadi hening ketika kuhentikan bicara. Daun-daun membeku. Udara berhenti
mengalir. Gemercik air terdengar membentur bebatuan. Lama.
“Apa kau akan
diam saja seperti itu? Menjadi pengecut yang terus memeluk tanah merah? Dasar
bodoh!” suaraku mengusir sepi.
Lalu di batas
benciku yang tak sabar lagi menuntut balas, kudekati Jaenudin, menarik kerah
bajunya, kuangkat ia dari simpuh dan.. bduuugkk. Kupukul wajahnya keras
hingga ia terkapar, mengalir darah segar dari hidungnya, dan kali ini
benar-benar kurasakan kepalan tanganku mengenai kulitnya. Ia mengerang kesakitan,
melihatku dengan linangan air mata.
“Maafkan aku.
Maafkan aku.” Katanya.
“Pada ibumu kau
seharusnya minta maaf bangsat!”
“Aku.. aku, aku
pergi karena ingin mengganti uang yang dulu kupakai untuk membeli kupu-kupu.
Aku juga ingin membuktikan pada ibu bahwa aku bisa meraih mimpinya. Bukan lagi
sepeda yang kumiliki. Tapi lebih dari itu. Lebih dari itu.” Jelasnya dengan
berat.
Dijelaskannya lah
padaku tentang nasibnya setelah pergi. Ia tak pernah berniat meninggalkan
ibunya. Bagaimana ia menghadapi hidup dan bagaimana ia bekerja menggapai mimpi
ibunya. Namun sayang, keberhasilannya dalam jual beli barang bekas tak dapat ia
tunjukan. Hanya padaku.
Sambil berlalu
dari pemakaman dengan menggunakan kendaraan baru milik Jaenudin, ia ceritakan
segalanya. Dan kuketahui pula tentang kemarahan ibunya, itu karena Jaenudin
membeli kupu-kupu tersebut dengan uang simpanan ibunya dari upah mencuci baju
yang seharusnya dibelikan beras dan minyak.
Masih dengan
serapahku tentang apakah aku seorang sahabat baginya atau sekedar teman. Aku
mengikuti langkah Jaenudin, berlalu menjauh dari etalase kupu-kupu tembaganya.
Meskipun rasa penasaranku masih sangat mengganjal, aku selalu mengurungkan
niatku untuk bertanya maksud dari tingkah lakunya. Aku hanya takut tidak menjadi
sahabat bagi Jaenudin.
Satu hari,
Jaenudin pernah mengatakan begini. “Dulu, aku kesulitan uang untuk membeli
kupu-kupu itu. Tapi sekarang, aku punya banyak uang, bisa membeli apa pun yang
kumau. Tapi banyak uangku untuk siapa? Dahulu, aku menatap malu-malu kupu-kupu
itu tak mampu membelinya, tapi saat itu ibuku masih ada.”
Sejak saat itu.
Aku kesulitan menemui Jaenudin. Kadang aku yang justru sendirian menatap
kupu-kupu tembaga itu. Rasanya sangat aneh. Melihatnya tanpa Jaenudin di
sampingku. Apa asyiknya melihat kupu-kupu tembaga di balik etalase? Namun setiap
kali aku melewat Ruko, aku selalu menyempatkan diri beberapa saat untuk terus
berusaha memahami Jaenudin. Sampai sekarang.